Mamuju, Nuansainfo.com – Mantan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode 2022–2023, Sarnadi, melontarkan kritik keras terhadap jalannya Sidang dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) nomor 193-PKE-DKPP/IX/2025 di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat yang juga di gelar secara virtual pada Kamis (16/10/2025), pukul 09.00 WITA.
Ia menilai proses tersebut tidak mendasari pedoman etik yang seharusnya menjadi pijakan moral DKPP, melainkan menunjukkan ketimpangan prosedural dan aroma politisasi etik yang kian menguat.
“Saya melihat terlalu banyak penyimpangan dalam tata bersidang. Sidang DKPP kali ini kehilangan pijakan etik dan justru dipenuhi nuansa keberpihakan,” tegas Sarnadi dalam keterangannya saat di konfirmasi Melalui Via Whatsapp Selasa (21/10/2025).
Menurut Sarnadi, jalannya sidang telah melenceng dari semangat mencari kebenaran substantif, Menyimpang dari Pedoman Etik
“Ini bukan tentang menegakkan keadilan, tapi lebih kepada upaya menjatuhkan beberapa pihak,” ujarnya tegas.
Kritik itu merujuk langsung pada Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu, khususnya Pasal 31 ayat (3), yang menyebut:
“Majelis atau tim pemeriksa sidang tidak dapat mengajukan pertanyaan di luar pokok aduan yang diajukan dalam pokok perkara.”
Namun, menurut Sarnadi, ketentuan tersebut justru dilanggar secara terang-terangan di ruang sidang.
“Majelis bertanya di luar konteks, saksi bicara di luar pokok perkara. Ini bukan lagi forum etik, tapi forum asumsi atau spekulatif,” sindirnya tajam.
Ia menilai, pelanggaran seperti ini bukan sekedar kesalahan teknis, tetapi indikasi lunturnya integritas lembaga etik itu sendiri.
“DKPP bisa kehilangan kredibilitas bila tata beracaranya tak tunduk pada aturan yang dibuatnya sendiri,” ujarnya.
- Saksi Dinilai Tendensius dan Sarat Motif
Sarnadi juga menyoroti perilaku saksi yang dihadirkan dalam sidang. Ia menilai kesaksian yang diberikan tidak objektif, sarat dugaan, bahkan berpotensi membentuk opini yang sangat sesat.
“Saksi tidak kooperatif, terlalu banyak asumsi, dan cenderung memojokkan. Jelas ada motif yang tidak sehat dari pihak-pihak tertentu,” katanya.
Ia menilai, testimoni seperti itu tidak bertujuan mengungkap kebenaran, melainkan memperkuat narasi untuk menjatuhkan para pihak teradu dan terkait
“Ketika saksi berbicara dengan motif, kebenaran etik dikorbankan. Yang muncul bukan keadilan, tapi propaganda etik,” ujarnya pedas.
Lebih lanjut, Sarnadi menyebut materi aduan yang disampaikan pengadu keluar dari substansi pokok perkara.
“Saya menyimak betul jalannya sidang ini. Materi aduan sudah melebar ke opini dan asumsi yang tidak relevan,” katanya.
Menurutnya, situasi ini memperlihatkan bahwa DKPP Terkhusus TPD Sulbar sendiri gagal menjaga disiplin etik di tubuh lembaga yang seharusnya menjadi penjaga moralitas pemilu.
“Jika sidang etik justru mengabaikan etik beracara, maka DKPP bukan lagi wasit keadilan, melainkan bagian dari permainan kekuasaan,” tegasnya.
- Seruan Kritis: DKPP Harus Kembali ke Rel Etik
Dalam pandangan Sarnadi, DKPP perlu melakukan evaluasi serius dan kembali pada koridor etik yang murni dan bebas dari tekanan atau kepentingan lain.
Pernyataan Sarnadi membuka ruang refleksi serius terhadap mekanisme etik penyelenggara pemilu yang seharusnya menjadi benteng moral demokrasi.
“Jika benar terdapat pelanggaran pasal dan kecenderungan bias dalam sidang DKPP, maka persoalan ini bukan lagi sekadar ketidakpatuhan prosedural — melainkan gejala krisis etik di tubuh lembaga etik itu sendiri”
Dalam negara demokratis, ketika lembaga etik kehilangan etikanya, maka yang runtuh bukan hanya integritas pemilu, tapi juga kepercayaan rakyat terhadap keadilan.
By Adhie