Mamuju, nuansa – Ketua baru Kerukunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Tapalang, Asrap, menyoroti tajam lemahnya kesadaran pemerintah Sulawesi Barat terhadap makna pembangunan yang sesungguhnya. Menurutnya, selama ini pembangunan hanya tampak megah di atas kertas, sementara realitas di lapangan menunjukkan ketimpangan yang menyakitkan.
“Sulbar tidak akan maju hanya dengan gedung megah dan jalan beraspal di pusat kota. Sulbar akan maju ketika anak di pelosok bisa bersekolah tanpa takut hujan dan lumpur. Ketika ibu di desa bisa membawa anaknya berobat tanpa harus ditandu. Dan ketika pemerintah hadir bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pelayan rakyat,” ujar Asrap tegas.
Asrap menilai, orientasi pembangunan di Sulbar masih bersifat seremonial—lebih mengejar citra daripada substansi. Ia menegaskan bahwa pemerintah hari ini lebih sibuk membangun monumen politik ketimbang menjawab penderitaan rakyat di wilayah terpencil.
“Banyak pejabat bicara tentang kemajuan, tapi menutup mata terhadap jalan berlumpur, sekolah roboh, dan fasilitas kesehatan yang tidak manusiawi. Jika kesadaran sosial tidak dibangun, maka pembangunan fisik hanya akan menjadi simbol kemunafikan birokrasi,” tambahnya.
Kritik ini, menurutnya, bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk menyadarkan pemerintah agar kembali pada akar tanggung jawab moral dan konstitusionalnya yaitu memastikan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Sulbar.
“Sudah terlalu lama rakyat kecil dijadikan objek pembangunan, bukan subjeknya. Pemerintah seharusnya turun, melihat, dan mendengar langsung detak nadi rakyatnya. Karena rakyat tidak butuh janji, mereka butuh perubahan yang menyentuh kehidupan sehari-hari,” tutup Asrap dengan nada keras namun penuh refleksi.














